(Social) Behavioral Change Communication:  Metode Komunikasi Baru Abad Ini? Perspektif Seorang Praktisi Kehumasan Indonesia

(Social) Behavioral Change Communication: Metode Komunikasi Baru Abad Ini? Perspektif Seorang Praktisi Kehumasan Indonesia

Sebagai praktiksi kehumasan yang sudah terlibat dalam berbagai proyek komunikasi, saya sering bertanya-tanya, apakah program komunikasi yang sudah disusun secara matang, benar-benar dapat memberikan dampak sesuai dengan yang diharapkan? Misalnya, apakah program yang mengajak orang untuk mengurangi konsumsi plastik, bisa benar-benar berhasil mengurangi sampah plastik di suatu daerah? Apakah kampanye mempromosikan kebiasaan makan yogurt sehari-hari dapat benar-benar menyehatkan pencernaan banyak keluarga di Indonesia dan mengurangi penyakit akibat gaya hidup tidak sehat? Apakah dorongan kepada para ibu Indonesia untuk melakukan pemeriksaan dan imunisasi bagi bayinya benar-benar dilakukan secara rutin sesuai jadwalnya di daerah mereka masing-masing? Pertanyaan ini berlaku untuk program komunikasi di berbagai bidang, baik komunikasi korporasi, komunikasi pemasaran produk, maupun komunikasi untuk urusan publik.

Merefleksikan beragam pendekatan komunikasi dari waktu ke waktu, kita melihat adanya perubahan tren, dari komunikasi yang fokus untuk mengedukasi atau memperkenalkan target audiens pada suatu produk atau isu, menjadi komunikasi yang lebih persuasif dan lebih personal untuk mendorong target audiens bergerak sesuai dengan perilaku yang diharapkan. Ini juga berarti komunikasi bergerak dari tingkat awareness, menjadi komunikasi yang lebih dalam – yang melibatkan proses refleksi diri untuk akhirnya melakukan perubahan perilaku.

Pendekatan komunikasi ini dinamakan Komunikasi (Sosial) Perubahan Perilaku atau (Social) Behavioral Communication Change (S)BCC, yang berusaha menyentuh tingkatan lebih dalam dari pikiran dan emosi manusia, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memotivasi mereka untuk melakukan perilaku tertentu dalam sehari-hari. Faktor-faktor tersebut termasuk norma sosial dan budaya, kondisi ekonomi, hingga situasi demografis maupun geografis. Semuanya dianggap sebagai faktor yang menyebabkan seorang individu, masyarakat, hingga negara memiliki perilaku tertentu yang unik dan berbeda-beda, serta tentunya dapat diubah menjadi perilaku positif sesuai yang diharapkan.

Memahami Komunikasi dan Perilaku

Sebelumnya, studi komunikasi dan perilaku berdiri sendiri-sendiri. Studi seputar komunikasi umumnya berhenti pada saat pesan berhasil disampaikan dan ditangkap oleh target audiens, dengan sedikit analisa terkait kesuksesan dari proses tersebut. Sedangkan studi perilaku lebih sering dianalisa pada tataran kesenjangannya yang berada di seputar pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan praktik (practice) saja. Nyatanya, komunikasi dan perilaku memiliki hubungan erat untuk saling mempengaruhi dan berpotensi membawa perubahan besar pada target audiens yang disasar.

Menelusuri rumpunnya, teori perubahan perilaku lahir dari beberapa kerangka teori antara lain Teori Sosial Kognitif (Bandura, 1986), Teori Perilaku yang Direncanakan (Icek Ajze, 1991) dan Teori Transtheoretical Model (James O. Proschaska, 1998).[1] Semua teori tersebut berusaha memahami baik faktor maupun proses yang mempengaruhi perilaku manusia. Ada juga yang menyatakan bahwa (S)BCC merupakan transformasi dari Theory of Change yang muncul pada tahun 1990an di Aspen Institute Roundtable on Community Change[2], sebagai sebuah cara untuk membuat model dan mengevaluasi berbagai inisiatif masyarakat yang kompleks.

Apapun akar teorinya, saya menangkap bahwa kompleksitas perilaku manusia memerlukan gabungan berbagai pemikiran, baik komunikasi maupun perilaku, sehingga bisa berfungsi efektif dalam mencapai tujuannya. Fokus (S)BCC adalah pada perilaku, sehingga proses pembuatan pesan hingga penyampaiannya benar-benar dapat mempengaruhi orang yang menjadi target pesan tersebut. Misalnya, ketika Anda mengenal seseorang dengan sangat baik), Anda akan tahu persis argumentasi apa yang harus digunakan dan kapan harus digunakan, sehingga komunikasi tersebut menjadi sangat efektif. Melihat dasar ini, maka (S)BCC dapat juga diterapkan di skala komunikasi yang lebih besar – di tingkat komunitas, organisasi/institusi, hingga negara dan dunia. Jadi bayangkan betapa masifnya dampak perubahan yang dihasilkan (S)BCC bila sukses diterapkan kepada target audiens dalam skala besar.

 

(S)BCC di Sektor Kesehatan, Cerita Sukses dan Tantangannya

Melihat hubungan yang kuat antara komunikasi dan perilaku, (S)BCC kemudian banyak dipakai oleh sektor kesehatan karena dianggap mampu mentransformasi berbagai perilaku manusia agar bisa melakukan perilaku sehat yang diharapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan (S)BCC dianggap efektif dalam mendesain pesan persuasif dan tepat sasaran untuk berbagai kelompok target masyarakat terhadap suatu perilaku kesehatan tertentu.

Beberapa negara telah berhasil menerapkan S(BCC) untuk menyelesaikan permasalahan kesehatannya. Salah satu cerita sukses datang dari Peru yang telah berhasil menurunkan angka stunting dari sekitar 28% pada tahun 2008 menjadi 13% pada tahun 2016.[3] Komitmen pemerintah yang tinggi, serta kerja sama yang baik dengan LSM dan komunitas internasional berhasil menurunkan malnutrisi kronis di negara tersebut. Peru menjadikan stunting sebagai prioritas nasional dengan melibatkan semua pihak, termasuk anak-anak, keluarga dan masyarakat. Selain dukungan dana yang mencapai USD 250 juta (2002) untuk program nutrisi dan pangan, pemerintah Peru memberikan dukungan lewat kebijakan cerdas yang memastikan masyarakat pergi ke pusat kesehatan untuk memeriksakan kondisi kesehatan anak mereka secara teratur. Upaya ini disandingkan dengan pendekatan (S)BCC dari berbagai pihak terkait, sehingga kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang stunting meningkat, serta mendorong mereka untuk mencari bantuan tenaga kesehatan untuk mencegah anak-anak mereka terhadap stunting.

Kesuksesan Peru dalam menangani permasalahan stunting di negaranya telah menjadi pemicu bagi banyak negara yang mengalami situasi serupa, termasuk Kamerun, Ekuador, Guetemala, Indonesia, Madagaskar dan Tanzania untuk menerapkan (S)BCC dalam program penurunan stunting di negara mereka.

Meskipun terlihat ideal dan sudah menghasilkan cerita sukses, (S)BCC memiliki banyak tantangan yang cukup kompleks. Tantangan tersebut terletak pada kualitas saat proses mendesain strategi, serta bagaimana (S)BCC dipahami dan diimplementasikan oleh pihak-pihak terkait. Berikut beberapa tantangan kunci (S)BCC dari pengalaman masa di sektor kesehatan.

Pertama, kecenderungan untuk fokus pada materi komunikasi dan bukan pada perilaku yang akan diubah. Banyak program (S)BCC akhirnya menghabiskan waktu dan sumber daya untuk memproduksi berbagai materi komunikasi (misalnya: brosur, poster, lembar balik, iklan TV, dan sebagainya). Meskipun berbagai materi komunikasi tersebut diharapkan dapat menarik perhatian kelompok sasaran, namun tidak serta merta dapat meyakinkan mereka untuk mengubah perilakunya. Ini mengindikasikan perlunya upaya lain di luar produksi materi komunikasi untuk dapat melakukan perubahan perilaku.

Kedua, pesan fokus pada memberikan informasi seputar manfaat kesehatan saja dan jarang sekali menyentuh faktor emosional, fisik dan sosial. Berbagai studi dari London School of Hygiene and Tropical Medicine di Indonesia, India dan Zambia telah menujukkan bahwa terdapat potensi dalam menggunakan faktor pendorong emosional seperti rasa jijik dan sikap memelihara (nurture) untuk mengubah perilaku mencuci tangan masyarakat, daripada hanya berulang kali menekankan pesan pada manfaat kesehatan suatu perilaku tertentu.

Ketiga, menargetkan terlalu banyak perilaku dan terlalu banyak kelompok sasaran dalam waktu singkat. Studi menunjukkan bahwa fokus pada dua perilaku dan mengidentifikasi faktor penyebabnya dengan jelas akan lebih sukses membuat perubahan perilaku. Misalnya, perilaku mencuci tangan dengan sabun, makan makanan sehat, berhemat air, memberikan ASI ekslusif pada 1.000 hari pertama kehidupan – akan lebih mudah diterapkan jika sudah ada beberapa perilaku prioritas yang dipilih dan disepakati untuk diterapkan kepada masyarakat pada kurun waktu tertentu.  

Keempat, terbatasnya kapasitas pelaku/aktor lokal. Meskipun pesan telah disusun sedemikian rupa, namun bisa tidak sempurna tersampaikan jika pemberi pesan tidak memahami betul pesan tersebut. Pelaku lokal perlu memiliki pemahaman kuat, serta inovasi dalam menyampaikan pesan kepada kelompok sasaran untuk hasil perilaku yang lebih baik. Perlu ketekunan tersendiri untuk membangun kapasitas orang-orang kunci untuk benar-benar paham dan mampu mempromosikan perilaku tertentu yang diharapkan berlaku di masyarakat.

Kelima, steriotipe terhadap gender dan peran dalam (S)BCC. Terdapat kecenderungan untuk fokus pada perempuan sebagai kelompok sasaran dalam berbagai program perubahan perilaku. Padahal, ada pihak-pihak lain yang sangat berpengaruh dalam membuat keputusan perilaku sehat. Misalnya, peran suami dalam memberikan makanan bergizi kepada istrinya yang sedang hamil terbukti akan sangat menentukan kualitas anak mereka di masa depan. Seringkali perempuan memang menjadi ‘pintu masuk’ untuk melakukan perubahan, namun perhatikan juga budaya lokal agar bisa memanfaatkan pintu masuk yang lebih efektif untuk mendorong terjadinya perubahan perilaku.

Praktisi Kehumasan, Profesi yang Bisa Berdampak Langsung

Melihat cerita sukses dan tantangan (S)BCC, meskipun telah lebih dari satu dekade sejak pendekatan ini lahir, namun sebagai praktisi kehumasan, saya melihat kesempatan yang sangat besar bagi para komunikator untuk bisa menjadi pemain kunci dalam mendesain, mengimplementasikan dan mengevaluasi program komunikasi perubahan perilaku.

Sudah saatnya, profesi kehumasan ditempatkan secara strategis untuk bisa memberikan dampak langsung kepada masyarakat, dan tidak melulu dipandang hanya sebagai ‘bumbu pemanis’ atau ‘pihak penyelamat terakhir’ dari berbagai kampanye atau program komunikasi. Seorang komunikator dapat menyelami lebih dalam target audiens mereka dengan mempelajari pandangan, cara berpikir, pengetahuan, sikap dan hal-hal yang membuat mereka menerima sebuah pesan. Selain itu, kejelian komunikator diuji dalam melihat saluran-saluran komunikasi yang paling efektif untuk menyampaikan pesan. Hal lain yang tidak kalah penting adalah daya tahan (endurance) komunikator untuk menjaga konsistensi program dengan menerapkan berbagai inovasi sepanjang perjalanan program, serta kemampuannya bekerja sama dengan berbagai ahli di berbagai profesi untuk terus memperdalam isu/sektor yang sedang diintervensi.

Kisah sukses (S)BCC dalam berbagai cerita di sektor kesehatan sudah sewajarnya semakin memantapkan para praktisi kehumasan untuk mulai menerapkan pendekatan ini dalam berbagai strategi komunikasi di sektor lain, yang punya aspirasi tak kalah tinggi untuk melakukan perubahan perilaku terhadap perilaku manusia.

Mengutip buku “Good is the New Cool: Market Like You Give A Damn” karya Afdhel Aziz dan Bobby Jones, maka sudah saatnya praktisi kehumasan yang banyak berhubungan dengan penyusunan strategi komunikasi, untuk mulai berpikir ‘transformasional’ daripada sekadar ‘transaksional’. Sudah sewajarnya juga jika terdapat harapan yang besar terhadap praktisi kehumasan agar bisa berkontribusi besar dalam menyusun dan memimpin orkestra terhadap berubahnya perilaku masyarakat; termasuk mendorong para pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan yang lebih terintegrasi dan sesuai dengan kebutuhan zaman, mempengaruhi korporasi untuk berkomitmen terhadap isu kemanusiaan secara lebih mendalam, atau mengajak berbagai insan kreatif untuk menyampaikan pesan-pesan positif untuk perubahan perilaku yang lebih baik melalui promosi produk-produk mereka.

Dengan kesadaran dan kemampuan ini, saya yakin profesi kehumasan akan mampu bertahan bahkan ‘naik kelas’ di abad ini, serta di masa-masa mendatang.

Penulis: Asti Putri, Praktisi Komunikasi dan Pendiri ID COMM